Jumat, 29 Agustus 2014


Tak Terkuburkah Bakat Ku?


Oleh ; Syamsumarlin BSyamsumarlin
Suatu ketika seorang teman bercerita bahwa dia dahulu mengenal banyak teman di sekolah, sebagian mereka membuatnya takjub karena kemampuan mereka dalam
menghafal, memahami pelajaran dan kecerdasan. Puluhan tahun berlalu dan tatkala Allah mempertemukan mereka kembali ,ia m
erasa ada sesuatu yang hilang yakni  “kehebatan” yang dahulu pernah mereka miliki.
Ada yang kondisi pengetahuannya relatif tak berkembang setelah berselang sekian lama. Bahkan tak jarang yang kecerdasannya justru menyusut, seakan potensi ilmunya menyusut, seakan potensi ilmunya terkubur begitu saja tanpa bekas.
Tanpa sadar angan –angan dia pun melambung, mengandaikan sekiranya dahulu si Fulan itu mengoptimalkan potensi kecerdasan yang Allah anugerahkan kepada mereka. Teringat masa
kecil Syaikhhul Islam Ibnu Taimiyah, ketika seorang Ulama dari Suriah sengaja datang ke Damaskus untuk melihat Ibnu Taimiyah kecil, setelah bertemu ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus.Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, ia pun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya, sehingga ulama tersebut berkata, “Jika anak ini hidup hingga dewasa, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah sepertinya”. Prediksi itu benar adanya, beliau pun menjadi ulama besar, dan menjadi rujukan bagi kaum muslimin di zamannya dan sesudahnya.
Teringat juga masa kecil Imam Nawawi, yang telah tampak bibit-bibit ‘kehebatannya’ sejak kecil. Ia dikenal sebagai anak yang cerdas dan tidak suka bermain. Pernah suatu ketika ia dipaksa main oleh teman-teman sebayanya. Namun ia menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Ia lebih suka menghafal Al-Qur’an daripada memenuhi ajakan teman-temannya. Ketika Syeikh Yasin Bin Yusuf Az Zarkasyi, salah satu ulama dizamannya memperhatikan keadaan An-Nawawi kecil, ia pun mendatangi orang tuanya, berpesan bahwa anak ini diharapkan menjadi anak yang tercerdas dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan mamfaat yang besar kepada umat islam. Dan Allah takdirkan prediksi itu menjadi kenyataan,
Hal itu dikarenakan mereka menyambut potensi yang Allah berikan tersebut dengan rasa syukur, mereka tindaklanjuti dengan memupuk ilmu, menyuburkan dan menempuh segala hal yang bisa menyebabkan ilmu berkembang dan berbuah. Seperti Imam An-Nawawi yang dimasa mudanya sering menghadiri 12 majelis ilmu setiap harinya. Maka bertemulah antara bakat dan tekad, melahirkan pengetahuan dan karya-karya amal yang menakjubkan .
Meskipun tidak sehebat Ibnu Taimiyah ataupun Imam An-Nawawi, dikalangan barisan penuntut ilmu syar’i atau umum, kita pun sering menjumpai orang-orang yang dianugerahi  kema
mpuan yang bagus, kecerdasan yang lebih, yang membuat mereka sebenarnya pantas mendapatkan kemuliaan ilmu. Hanya saja tekad dan cita-cita mereka yang rendah menghancurkan anugerah tersebut, menghilangkan eloknya keunggulan mereka. Mereka merasa cukup dengan ilmu yang sedikit, tidak suka membaca dan menelaah, malas menghadiri majelis ilmu dan terkungkung oleh aktivitas yang tidak mendukung bertambahnya pengetahuan maupun amal kebaikan, akhirnya bakat mereka terkubur.
Mereka layak untuk dikasihani, memiliki potensi besar, namun tidak mau mengembangkan potensi diri. Ini mengingatkan kita dengan perkataan Al-Farra’ رحمه اللهtidaklah aku menaruh belas kasihan pada seseorang melebihi rasa belas kasihanku kepada dua orang ‘seorang yang menuntut ilmu , namun ia tidak mempunyai pemahaman, dan seorang yang paham tetapi tidak mencarinya. Dan aku sungguh heran dengan orang yang lapang untuk menuntuk ilmu tetapi ia tidak belajar,’(Jami’ Bayanil Ilmi Wa Fadhilih,1/103)
Adapun orang pertama, jika memang iya t
elah bersungguh-sungguh mengusahakannya, tiada celah baginya, karena ilmu adalah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapapun yang dikehendaki_Nya. Bisa jadi Allah membuka pintu kebaikan dari sisi lain. Dan dia tetap mendapatkan pahala sesuai dengan jerih payahnya. Rasa kasihan terhadap tipe pertama ini hanya dari sisi kauniyah, yang bersifat alami. Kita merasa kasihan karena sudah bersungguh-sungguh mencari, namun belum mendapatkan. Tetapi secara syar’i, ia telah menjalankan kewajiban, jerih payahnya tetap terpuji.
Yang paling disayangkan adalah tipe orang kedua. Orang yang telah diberi potensi lebih oleh Allah, namun ia sia-siakan. Betapa cepatnya mereka melepaskan potensi ini dan menghilangkan berkah waktu-waktu mereka. Hal itu terjadi karena kufur nikmat. Dan kufur nikmat itulah yang menyebabkan nikmat itu lenyap. Bukankah potensi pendengaran, penglihatan dan hati yang Allah telah berikan kepada kita harus kita syukuri? Dan dian
tara cara mensyukurinya adalah menggunakannya untuk memperbanyak pengetahuan yang tadinya belum tahu
menjadi tahu. Allah SWT berfirman,
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.(QS. An-Nahl;78).
Dan Banyak faktor yang memicu berpalingnya mereka dari nikmat kecerdasan terus berproses. Alasan sibuk bekerja, ingin santai dan berhela-hela, juga kesalahan asumsi bahwa belajar itu hanya sarana untuk mencari pekerjaan. Namun inti dari banyak sebab diatas sekaligus menjadi pemicu yang paling dominan adalah faktor “Dunuwwul himmah wal azm” rendahnya tekad dan cita-cita.
Setelah membaca paparan ini, tidak selayaknya kita posisikan diri sebagai orang dengan tipe pertama yang disebutkan oleh al-Farra’.“ merasa sebagai orang yang tidak berpotensi dan sudah berjuang secara maksimal”. Dengan sikap ini bisa jadi kita membunuh potensi diri, dan masuk dalam kriteria tidak mengenali nikmat apalagi mensyukurinya.Bukan kah jenis kecerdasan itu banyak ragamnya.
Maka, bagi yang melihat pada dirinya ada tanda-tanda keunggulan dan kecerdasan, baik secara umum maupun khusus, tak selayaknya berpaling dari ilmu. Atau, dia akan mengenyam kerugian yang besar. Seperti yang dikatakan Imam Syafi’i “ Barangsiapa yang tidak pernah merasakan rasa pahitnya menuntut ilmu niscaya iya akan mengenyam pahitnya menjadi orang bodoh sepanjang hayatnya.” Wallahu a’lam. [Syamsumarlin_B] sumber =====>>>> (Blog PUT UNISMUH MAKASSAR)